Selasa, 29 Maret 2011

Masuk Islam Secara Kaffah

Masuk Islam Secara Kaffah



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِين


“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah (2) : 208)

Tatkala seseorang mendeklarasikan diri sebagai Muslim, wajib baginya masuk Islam secara totalitas. Islam harus diterima secara utuh. Tidak boleh ada bagian yang ditinggalkan, diabaikan, bahkan ditolak.

Sebagaimana halnya tidak boleh memasukkan ide atau ajaran lain ke dalam Islam. Ketentuan tersebut termaktub dalam ayat di atas. Dalam ayat tersebut, kaum Mukmin diperintahkan masuk ke dalam Islam secara kaffah sekaligus tidak mengikuti langkah-langkah syetan.

Pengertian al Silm

Allah SWT Berfirman: Ya ayyuha al ladzina amanu [u]dkhulu fi al silm kaffah (hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya). Khithab atau seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Mereka diperintahkan untuk masuk ke dalam al silm secara kaffah.

Ibnu Jarir al Thabari mengutip pendapat banyak mufassir terkemuka, seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, al Sudi, Ibnu Zaid dan al Dhahhak al Islam. Pendapat ini juga dikuatkan oleh al Thabari dan al Samarqandi.

Dengan demikian, ayat ini dapat dimaknai sebagai perintah agar memasuki Islam secara kaffah.

Sebagaimana dikutip al Thabari, ada yang memaknai kata al silm di sini dengan al musalamah, yakni perdamaian, perundingan, meninggalkan perang dan memberikan jizyah.

Itu artinya, kaum Muslim diperintahkan mengadakan perdamaian secara total. Akan tetapi pendapat tersebut lemah.

Alasannya, sekalipun kata al silmi juga bisa diartikan al musalamah, namun pengertian tersebut bertentangan dengan ayat-ayat muhkamat atau dalil lain yang lebih jelas maknanya.

Jika dimaknai sebagai perdamaian secara total, berarti tidak ada lagi perintah perang terhadap kaum kafir. Dalam menghadapi mereka, kaum Muslim hanya diperintahkan melakukan perundingan dan perdamaian.

Pengertian tersebut jelas bertentangan dengan banyak ayat dan hadits yang mewajibkan perang melawan kaum kafir.

Allah SWT Berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ


“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2): 216)

Diperkuat dengan ayat :

انْفِرُواْ خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُواْ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ


“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At Taubah (9): 41)

Ancaman bagi yang tidak berangkat perang:

إِلاَّ تَنفِرُواْ يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلاَ تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ


“Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At Taubah (9) :39)

Bahkan, perang yang diwajibkan itu bukan hanya ketika diserang musuh

وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ


“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Baqarah (2) :190)

Namun juga bersifat ofensif; menyerang kaum kafir terlebih dahulu. Kaum Muslim diperintahkan memerangi kaum kafir hingga mereka bersedia membayar jizyah dan tunduk terhadap hukum Islam

قَاتِلُواْ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُواْ الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah [638] dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. At Taubah (9) :29).

Itu berarti, selama masih ada orang kafir yang tidak mau tunduk menjadi kafir dzimmi dan membayar jizyah, kewajiban memerangi mereka belum gugur. Perang tersebut terus dilakukan hingga tidak fitnah dan ketaatan hanya untuk Allah semata

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلّهِ فَإِنِ انتَهَواْ فَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِينَ


“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah (2) : 193).

Semua dalil itu menunjukkan secara pasti wajibnya berperang fi sabilil Lah.

Bertolak dari fakta tersebut, kata al silm tidak bisa dimaknai al musalamah (perdamaian). Rasulullah SAW memang pernah melakukan perjanjian damai dengan kaum kafir. Akan tetapi, semua perjanjian dibatasi dengan waktu tertentu.

Ketika masa perjanjian sudah habis, perang kembali diperintahkan. Ini makin mengokohkan bahwa tidak ada perdamaian total dengan kaum kafir. Karena tidak bisa dimaknai al musalamah, makna kata al slim tidak bisa dimaknai lain kecuali Islam..


Sedangkan makna kaffah menurut banyak mufassir sebagaimana dikutip Ibnu Katsir adalah jami’a[n] (semuanya keseluruhan). Sehingga, ayat ini bermakna: Allah SWT memerintahkan hambaNya yang Mukmin, yang membenarkan RasulNya, untuk mengambil semua aspek Islam dan syariahnya, mengamalkan semua perintahNya dan meninggalkan semua laranganNya, selama mereka mampu mengerjakannya.

Demikian Ibnu Katsir dalam Tafsir al Qur’an al ‘Azhim. Tidak jauh berbeda, Fakhruddin al Razi juga menjelaskan pengertian ayat ini: “Masuklah ke dalam seluruh syariah Islam, baik secara keyakinan maupun secara amalan.”

Pengertian tersebut makin jelas jika dikaitkan dengan Sabab al nuzul (sebab turunnya) ayat ini. Dikemukakan oleh ‘Ikrimah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang Muslim yang sebelumnya beragama Yahudi, seperti Abdullah bin Salam, Tsa’labah, Asad bin ‘Ubaid, dll.

Yang meminta izin kepada Rasulullah untuk merayakan hari Sabtu dan mengamalkan Taurat di malam hari. Kemudian turunlah ayat ini yang memerintahkan mereka untuk mengamalkan syiar-syiar Islam dan meninggalkan selainnya.

Namun Ibnu Katsir memberikan catatan, penyebutan Abdullah bin Salam perlu dicermati mengingat kesempurnaan imannya sehingga amat jauh jika dia menginginkan hal itu.

Jangan Ikuti Langkah Syetan

Setelah mereka diperintahkan masuk Islam secara keseluruhan, kemudian Allah SWT Berfirman: wala tattabi’u khuthuwat al syayathan (dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan).

Syetan adalah makhluk Allah SWT yang durhaka. Oleh karena itu, semua langkahnya mengundang murka Allah SWT. Jika Allah SWT memerintahkan manusia kepada kebaikan, syetan justru menyuruh berbuat jahat dan keji.

Allah SWT Berfirman:

إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاء وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ


“Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah (2) :169)

Jika Allah SWT memerintahkan manusia mengucapkan perkataan yang lebih baik, syetan justru menimbulkan perselisihan di antara manusia

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُواْ الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا


“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”. (QS. Al Isra’ (17) : 53).

Minum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah juga disebut sebagai perbuatan syetan. Dengan khamr dan judi itu pula syetan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara manusia.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah [434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ


“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Maidah (5) : 90-91)

Agar tujuannya berhasil, syetan menghiasi perbuatan buruk sehingga terlihat baik oleh pelakunya.

إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُواْ يُحِلِّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِّيُوَاطِؤُواْ عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللّهُ فَيُحِلُّواْ مَا حَرَّمَ اللّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ


“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu [642] adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. At Taubah (9) : 37)

أَفَمَنْ هُوَ قَآئِمٌ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ وَجَعَلُواْ لِلّهِ شُرَكَاء قُلْ سَمُّوهُمْ أَمْ تُنَبِّئُونَهُ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فِي الأَرْضِ أَم بِظَاهِرٍ مِّنَ الْقَوْلِ بَلْ زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُواْ مَكْرُهُمْ وَصُدُّواْ عَنِ السَّبِيلِ وَمَن يُضْلِلِ اللّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ


“Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)? Mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah. Katakanlah: "Sebutkanlah sifat-sifat mereka itu". Atau apakah kamu hendak memberitakan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di bumi, atau kamu mengatakan (tentang hal itu) sekadar perkataan pada lahirnya saja. Sebenarnya orang-orang kafir itu dijadikan (oleh syaitan) memandang baik tipu daya mereka dan dihalanginya dari jalan (yang benar). Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka baginya tak ada seorangpun yang akan memberi petunjuk.” (QS. Al Ra’d (13) :33)

Pendek kata, semua perbuatan tercela yang dibenci dan dimurkai Allah terkumpul pada diri syetan.

Dalam ayat ini, manusia diingatkan agar tidak mengikuti langkah-langkah syetan. Al Syaukani mengatakan, frasa ini berarti: “Janganlah kalian menempuh jalan yang diserukan syetan.” Sedangkan al Samarqandi menafsirkan, mengikuti langkah syetan berarti taat kepada syetan.

Kemudian Allah SWT memberikan alasan larangan tersebut dengan FirmanNya: Innahu lakum ‘aduww mubin (sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu). Sebagai musuh, syetan tidak suka melihat manusia bahagia.

Sebaliknya, dia sangat senang jika manusia sengsara dan menderita. Syetan tahu benar, kesengsaraan dan penderitaan tiada tara adalah masuk neraka. Oleh karena itu, syetan melakukan berbagai cara dan upaya untuk manusia dari jalan yang benar dan menjerumuskannya ke neraka.

Oleh karena itu menjadi musuh apalagi musuh yang benar-benar nyata, maka syetan harus diperlakukan sebagaimana layaknya manusia, bukan sebagai kawan, sahabat, pemimpin atau pelindung.

Allah SWT Berfirman:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ


“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS. Fathir (35) :6)

Agar memperoleh kebahagiaan hakiki, manusia tidak mengikuti jalan syetan. Islam adalah satu-satunya jalan yang boleh diikuti.

Telah maklum, bahwa syariah Islam mencangkup seluruh aspek kehidupan. Tak hanya mengatur urusan individu, seperti ibadah, makanan, pakaian atau akhlak. Namun juga mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti sistem ekonomi, pemerintahan, pendidikan, sanksi, politik luar negeri, dan lain-lain.

Semua wajib diamalkan tanpa terkecuali. Nyatalah bahwa jika kita menghendaki masuk Islam secara kaffah, maka keberadaan Daulah Khilafiah menjadi niscaya Wallah a’lam bi al shawab.



Footnote:

[434] Lihat not 396.

[638] Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka.

1 komentar: